MAKALAH TEORI AKUNTANSI, KONSEP BIAYA (EXPENSES)



MAKALAH TEORI AKUNTANSI

Judul:
BIAYA (EXPENSES)

Kelompok : 8
                                 Samirin                                  C.1410042
                                 Ajeng Aprilia Sari                C.1410491
                                 Cici Verolika Br. Ginting    C.1410973




JURUSAN AKUTANSI  FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS DJUANDA
BOGOR
2017


KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami, sehingga kami berhasil menyelesaikan makalah teori akuntansi ini yang  berjudul "Biaya (Expenses)" dengan baik.
Penulisan makalah ini selain bertujuan untuk menuhi tugas mata kuliah Teori Akuntansi juga bertujuan agar kita lebih mengerti dan memahami tentang biaya (expenses) dalam ilmu akuntansi.
            Dalam  menyelesaikan  karya  tulis  ini, penulis menyadari telah banyak menerima bantuan dari berbagai pihak sehingga karya  tulis  yang  sederhana  ini  dapat  terwujud. Untuk itu dalam kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan  mengucapkan terimkasih kepada:
1.    Indra Cahya Kusuma, SE., M.Si. selaku dosen pembimbing yang telah berkenan memberikan motivasi kepada penulis dan membimbing dalam pembuatan karya tulis ini sehingga dapat terselesaikan dengan baik.
2.    Teman-teman seperjuangan yang telah banyak memberikan dukungan baik moril maupun materil.
3.    Semua pihak yang yang telah membantu dalam penulisan makalah ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
            Penulis menyadari bahwa karya tulis ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak. Dengan iringan doa semoga karya tulis ini bisa bermanfaat dalam pengembangan pendidikan dan wacana berpikir kita bersama.


Bogor, 9 April 2017

Penulis




DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................ i
DAFTAR ISI ................................................................................................................ ii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. .... iii
I.              PENDAHULUAN
I.1          Latar Belakang............................................................................................. 1
I.2          Rumusan Masalah .................................................................................. .... 2
II.           TINJAUAN PUSTAKA  ................................................................................... 4
2.1.       Penelitian Terdahulu .............................................................................. .... 4
2.2.       Tinjauan Teori ........................................................................................ .... 4
2.2.1.          Pengertian Biaya ...................................................................... .... 4
2.2.2.          Pengakuan Dan Pengukuran Biaya ............................................... 7
2.2.3.          Konsep Penandingan (Matching) ............................................. .... 10
2.2.4.          Kritik Terhadap Konsep Penandingan .......................................... 21
2.3.       Study Kasus
2.3.1.          Sejarah Singkat Waste Management Inc ……………….............. 27
2.3.2.          Kronologi Kasus ........................................................................... 28
2.3.3.          Pihak-Pihak yang Terlibat ............................................................. 30
2.3.4.          Auditor: Arthur Andersen Company ............................................ 31
2.3.5.          Penyebab Terjadinya Skandal Waste Mangement Inc….............. 27
2.3.6.          Dampak dan Keberlanjutan Skandal Waste Management ....... .... 32
2.3.7.          Dampak dan Keberlanjutan Skandal WMI .................................. 33
2.3.8.          Analisis Kasus ............................................................................... 34
III.        PENUTUP........................................................................................................... 36
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ .... 37




DAFTAR GAMBAR
Gambar1  Konsep Matching ..................................................................................... .... 11
























BAB I
PENDAHULUAN
1.1.       Latar Belakang
Secara umum semua perusahaan memiliki tujuan yang sama yaitu memperoleh keuntungan pada tingkat tertentu, laporan keuangan merupakan informasi yang sangat penting bagi perusahaan karena digunakan sebagai bahan pertimbangan utama dalam pengambilan keputusan baik pihak intern maupun pihak ekstern. Dalam penyusunan laporan keuangan, pemahaman terhadap konsep biaya memerlukan analisis yang hati hati terhadap karakteristik dari transaksi yang berkaitan dengan biaya. Ada elemen laporan lain yang sifatnya hampir sama dengan biaya namun sebaiknya tidak dimasukkan sebagai komponen biaya. Karakteristik biaya dapat dipahami dengan mengenali batasan atau pengertian yang berkaitan dengan biaya.
Dengan pemahaman seperti ini, transaksi yang berkaitan dengan biaya dapat dengan mudah diidentifikasi sehingga dapat disajikan dengan benar dalam laporan keuangan. Menurut Hansen dan Mowen (2005: 40) dalam Ratunuman, S.M. (2013) menyatakan bahwa biaya (cost) adalah kas atau nilai ekuivalen kas yang dikorbankan atau dikonsumsi untuk mendapatakan barang atau jasa yang diharapkan memberi manfaat saat ini atau masa mendatang. Supriyono (2000;16) dalam Norfitri, Y. (2014) mendefinisikan biaya adalah harga perolehan yang dikorbankan atau digunakan dalam rangka memperoleh penghasilan atau revenue yang akan dipakai sebagai pengurang penghasilan. Sedangkan Mulyadi (2001;8) dalam Norfitri, Y. (2014), mendefinisikan biaya adalah pengorbanan sumber ekonomis yang diukur dalam satuan uang, yang telah terjadi, sedang terjadi atau yang kemungkinan akan terjadi untuk tujuan tertentu.
Ada dua konsep dasar yang melandasi pencatatan nilai biaya (cost) sebagai dasar pempembebanan yaitu konsep upaya dan hasil (efforts and accomplishment). Atas dasar konsep tersebut Cost dapat dipisah menjadi dua, yaitu: cost yang masih menjadi potensi jasa (melekat pada aktiva), dan Cost yang potensi jasanya dianggap sudah habis dalam rangka menghasilkan pendapatan. Pembebanan cost satu periode akuntansi didasarkan pada kriteria penentuan habisnya manfaat cost tersebut. Pertama, apakah manfaat cost habis dalam rangka penyerahan produk/jasa, atau sering disebut biaya (expenses). Kedua, apakah manfaat cost habis karena sebab lain, yang digolongkan sebagai rugi (losses).
Dalam penyusunan laporan keuangan, pengukuran dan pengakuan biaya memainkan peranan penting. Kecermatan mengukur besarnya biaya akan mempengaruhi keakuratan informasi keuangan yang dihasilkan. Ketepatan saat mengakui biaya juga akan berpengaruh dalam penentuan besarnya laba/rugi perusahaan. Besarnya laba/rugi perusahaan dapat dilihat dalam laporan laba rugi. Laporan laba rugi yang disajikan secara wajar pada setiap periode akuntansi yang menjadi elemen utamanya adalah pendapatan dan beban. Pendapatan diharapkan dapat diperoleh maksimum guna mendorong aktivitas perusahaan sehingga kelangsungan hidup dan pertumbuhan perusahaan akan cepat tercapai sesuai dengan yang diinginkan. Sedangkan beban diharapkan dapat dianggarkan secara tepat dengan memerlukan keputusan dan perkiraan yang tepat oleh pihak perusahaan, sehingga beban yang dikeluarkan tidak berlebihan.
Dalam pembuatan laporan laba rugi yang harus diperhatikan cara pengukuran, pengakuan dan prinsip penanding (matching principle). Konsep penandingan adalah konsep yang dimaksudkan untuk mencari dasar hubungan yang tepat dan rasional antara pendapatan dan biaya. Pendapatan merupakan hasil yang dituju perusahaan, sementara cost yang dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan tersebut merupakan upaya yang dilakukan perusahaan.
Dengan demikian, pendapatan harus ditandingkan dengan biaya yang diperkirakan telah menghasilkan pendapatan tersebut, agar dihasilkan besarnya laba yang tepat. Menurut Muqodim (2005:149) dalam  Norfitri, Y. (2014) terdapat tiga metode penandingan beban terhadap pendapatan yaitu 1). berasosiasi atas dasar sebab akibat, 2).  alokasi sistematis dan rasional, dan 3). serta pengakuan segera.
Berdasarkan pada uraian-uraian diatas, maka penyusun tertarik untuk membuat makalah dengan judul "Biaya (Expenses)".


1.2.       Rumusan Masalah
Berdasarkan pada uraian latar belakang diatas, dalam penyusunan makalah ini kami menggunakan rumusan masalah sebagai lingkup permasalahan kami, antara lain:
1.        Apa pengertian biaya?
2.        Bagaimana pengakuan dan pengukuran biaya?
3.        Bagaiman konsep penandingan?
4.        Bagaimana kritik terhadap konsep penandingan?
1.3.       Tujuan Penulisan
Tujuan dalam pembuatan makalah ini adalah untuk:
1.        Mengetahui pengertian biaya.
2.        Mengetahui pengakuan dan pengukuran biaya.
3.        Mengetahui konsep penandingan.
4.        Mengetahui kritik terhadap konsep penandingan.













BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.       Penelitian Terdahulu
Beberapa penelitian terdahulu yang relevan yang berhubungan dengan pembahasan tentang konsep ekuitas disajikan dibawah ini:
Pertama, penelitian yang dilakukan oleh  Rut, P.M. (2016) dalam jurnalnya yang berjudul " Analisis Pengakuan, Pengukuran Dan Pengungkapan Pendapatan Dan Beban Berdasarkan PSAK No. 36 Pada AJB Bumiputera 1912 Manado", simpulan hasil penelitian ini adalah pengakuan dan pengukuran beban yaitu klaim yang telah disetujui, klaim dalam proses penyelesaian dan klaim yang terjadi namun belum dilaporkan dan AJB Bumiputera tidak membuat laporan catatan atas laporan keuangan untuk mengungkapkan kebijakan akuntansinya, pendapatan premi bruto, dan klaim dan manfaat.
Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Norfitri, Y. (2015) dalam jurnalnya yang berjudul "Evaluasi Penerapan Matching Principle Dalam Laporan Laba Rugi Pada PT. Megatrans Buana Samudra", simpulan hasil penelitian ini adalah PT. Megatrans Buana Samudra Surabaya dalam mengakui pendapatan dan biaya menggunakan akrual basis, dan penerapan prinsip penanding (matching principle) pada PT. Megatrans Buana Samudra telah menggunakan metode akrual, pendapatan jasa yang diakui ketika pemberian jasa tersebut di berikan dan di bandingkan dengan biaya jasa yang sudah di biayakan untuk kegiatan tersebut.
2.2.       TINJAUAN TEORI
2.2.1.      Pengertian Biaya
Secara umum, dapat dikatakan bahwa cost yang telah dikorbankan dalam rangka menciptakan pendapatan disebut dengan biaya. FASB (1980) mendefisnisikan biaya sebagai berikut:
"Biaya adalah aliran keluar (outflows) atau pemakaian aktiva atau timbulnya hutang (atau kombinasi keduanya) selama satu periode yang berasal dari penjualan atau produksi barang, atau penyerahan jasa atau pelaksanaan kegiatan yang lain yang merupakan kegiatan utama suatu entitas"
IAI (1994) mendefinisikan biaya (beban) sebagai berikut:
Beban (expenses) adalah penurunan manfaat ekonomi selama suatu periode akuntansi dalam bentuk arus keluar atau berkurangnya aktiva atau terjadinya kewajiban yang mengakibatkan penurunan ekuitas yang tidak menyangkut pembagian kepada penanam modal (Paragrap70).
Dari pengertian di atas dapat dilihat bahwa biaya pada akhirnya merupakan aliran keluar aktiva meskipun kadang-kadang harus melalui hutang lebih dahulu.
Secara konseptual biaya lebih bersifat penurunan aktiva daripada kenaikan hutang. Biaya akan terjadi bila produk tertentu diserahkan untuk menciptakan pendapatan. Penggunaan aktiva dapat dikatakan sebagai biaya apabila penggunaan tersebut berkaitan langsung dengan penyerahan produk (menghasilkan pendapatan) dan bukan pengubahan aktiva menjadi potensi jasa (aktiva) yang lain.
Zaki Baridwan (2008:29) mendefinikan Biaya (expense) adalah aliran keluar atau pemakaian lain aktiva atau timbulnya utang (atau kombinasi keduanya) selama suatu periode yang berasal dari penyerahan atau pembuatan barang, penyerahan jasa, atau dari pelaksanaan kegiatan lain yang merupakan kegiatan utama badan usaha.
Sementara Kam (1990) mendefinisikan Biaya sebagai penurunan nilai aktiva atau kenaikan hutang atau kenaikan ekuitas pemegang saham (stockholder's equity) sebagai akibat pemakaian barang atau jasa oleh suatu unit usaha untuk menghasilkan pendapatan pada periode berjalan. Misalnya, perusahaan menggunakan jasa tenaga kerja dan gaji tenaga kerja tersebut dibayar dengan kas atau aktiva lain. Pemakaian jasa tersebut jelas menunjukkan adanya penurunan nilai aktiva (berkurangnya kas atau aktiva lain). Apabila gaji tenaga kerja tersebut tidak langsung dibayar atau dibayar di lain waktu, maka penggunaan jasa tenaga kerja tersebut akan menaikkan hutang. Sementara itu, bila tenaga kerja dibayar dengan sejumlah tertentu saham, penggunaan tenaga kerja akan menambah stockholder's equity.
Dari definsi-definisi di atas, definsi yang dikemukakan IAI sejalan dengan definsi yang diajukan Kam. Keduanya mendefinisikan biaya dari sudut pandang peristiwa moneter (penurunan aktiva, kenaikan hutang/ kenaikan ekuitas). Sebaliknya definisi yang dikemukakan FASB cenderung agak berbeda dengan definisi yang dikemukakan Kam. Perbedaan sudut pandang tersebut dapat dianalisis sebagai berikut.
Pertama, definisi yang diajukan FASB tidak menunjukkan perbedaan yang jelas antara peristiwa moneter dan peristiwa fisik. Perlu diketahu bahwa laba, pendapatan, dan biaya saling berkaitan erat dengan nilai dari suatu obyek ekonomi tertentu (jumlah rupiah aktiva yang dihasilkan dan dijual). Jadi, pendapatan dan biaya memiliki sifat moneter, karena dihasilkan dari peristiwa yang menyebabkan perubahan nilai obyek ekonomi tersebut. Biaya menunjukkan peristiwa moneter yang berasal dari pemakaian barang dan jasa (peristiwa fisik) dalam kegiatan operasional perusahaan.
Apabila diperhatikan, jelas terlihat bahwa FASB lebih menekankan pada peristiwa fisik yaitu penjualan barang atau produk yang dihasilkan. Menurut Kam (1990), penggunaan istilah "pemakaian barang dan jasa" lebih tepat dari pada istilah "pemakaian aktiva" (using up of assets). Barang dan jasa yang diperoleh perusahaan memang merupakan aktiva. Namun demikian, tidak semua barang atau jasa akan dicatat sebagai aktiva. Ada sebagian barang atau jasa tersebut yang langsung dibebankan sebagai biaya, misalnya: jasa tenaga kerja.
Kedua, pemakaian aktiva harus menunjukkan adanya suatu cost yang dinyatakan keluar (dikonsumsi) sebagai biaya. Hal ini sesuai dengan alasan yang dikemukakan sebelumnya bahwa biaya menunjukkan adanya perubahan nilai. Perubahan nilai menunjukkan pengorbanan yang dilakukan suatu entitas dalam memperoleh pendapatan. Jadi, apabila tidak ada cost, otomatis tidak akan ada biaya. Misalnya, perusahaan dapat menggunakan tenaga kerja tanpa membayar tenaga kerja tersebut (dengan alasan tenaga kerja tersebut hanya mencari pengalaman kerja). Pada kasus ini, perusahaan tidak perlu mencatat biaya gaji, karena tidak ada cost yang timbul sebelumnya.
Ketiga, apabila dilihat dari pandangan tradisional, definisi yang dikemukakan FASB menunjukkan bahwa biaya hanya dihasilkan dari pemakaian aktiva untuk tujuan menghasilkan pendapatan pada periode berjalan. Apabila prinsip penandingan (matching) dilakukan dengan tepat, maka pembebanan biaya harus ditunda lebih dahulu sebagai aktiva, selama pemanfaatan jasa masa sekarang dapat membantu menghasilkan pendapatan pada periode yang akan datang. FASB tidak menunjukkan kondisi tersebut.
Lepas dari perbedaan tersebut, yang jelas setiap cost yang dinyatakan keluar dalam rangka menghasilkan pendapatan disebut dengan biaya. Baik itu biaya yang berasal dari cost aktiva maupun yang berasal dari cost yang langsung dibebankan sebagai biaya tanpa dicatat lebih dahulu sebagai aktiva.
2.2.2.      Pengakuan Dan Pengukuran Biaya
Pengukuran dan pengakuan biaya memainkan peranan penting dalam penyusunan laporan keuangan. Kecermatan mengukur besarnya biaya mempengaruhi keakuratan informasi keuangan yang dihasilkan. Ketepatan saat mengakui biaya juga akan berpengaruh dalam penentuan besarnya rugi/laba perusahaan. Oleh karena itu pemahaman secara konseptual tentang pengukuran dan pengakuan pendapatan tidak dapat diabaikan.
A.      Pengukuran Biaya
Sejalan dengan penilaian aktiva, biaya dapat diukur atas dasar jumlah rupiah yang digunakan untuk penilaian aktiva dan hutang. Oleh karena itu, pengukuran biaya dapat didasarkan pada:
1.    Cost historis
Cost historis merupakan jumlah rupiah kas atau setaranya yang dikorbankan umtuk memperoleh aktiva. Pengukuran biaya atas dasar cost historis, dapat digunakan untuk jenis aktiva seperti gedung, peralatan dan sebagainya.
2.    Cost Pengganti/Cost Masukan Terkini (Replacement Cost/Curent Input Cost)
Cost masukan terkini menunjukkan jumlah rupiah harga pertukaran yang harus dikorbankan sekaran oleh suatu entitas untuk memperoleh aktiva yang sejenis dalam kondisi yang sama. Contohnya, pernilaian untuk persediaan.
3.    Setara Kas (Cash Equivalent)
Setara kas adalah jumlah rupiah kas yang dapat direalisir dengan cara menjual setiap jenis aktiva di pasar bebas dalam kondisi perusahaa normal. Nilai ini biasanya didasarkan pada catatan harga pasar barang bebas yang sejenis dalam kondisi yang sama. Pos aktiva berwujud biasanya menggunakan dasar penilaian ini.
Meskipun ada berbagai dasar penilaian, dalam praktik yang paling banyak digunakan untuk mengukur biaya adalah cost historis.
B.       Pengakuan Biaya
Pada dasarnya cost memiliki dua kedudukan penting, yaitu:
1.         Sebagai aktiva (potensi jasa) dan ;
2.         Sebagai beban pendapatan (biaya).
Atas dasar konsep kontinuitas  usaha, cost mula-mula diperlakukan sebagai aktiva dan kemuian baru diperlakukan sebagai pengurang pendapatan (biaya). Misalnya, cost persediaan ada awalnya dicatat/di akui sebagai aktiva. Apabila cost tersebut telah dinytakan keluar (dijual) untuk menghasilkan pendapatan, maka cost tersebut dinyatakan sebagai biaya, dengan nama cost barang terjual (cost of goods sold).
Proses pembebanan cost pada dasarnya merupakan proses pemisahan cost. Oleh karena itu, agar inforasi yang dihasilkan akurat  bagian cost yang telah di akui sebagai biaya pada periode berjalan dan bagian cost yang akan dilaporkan sebagai aktiva (di akui sebagai biaya periode mendatang) harus dapat ditentukan dengan jelas.
Ada dua masalah yang muncul sehubungan dengan pemisahan cost tersebut, yaitu:
1.         Kriteria yang digunakan untuk menentukan yang harus dibebankan pada pendapatan peiode berjalan.
2.        Kriteria yang digunakan untuk menentukan bahwa cost tertentu ditangguhkan pembebanannya.
Semua cost dapat ditangguhkan pembebananya sebagai biaya, apabila cost tersebut memenuhi kriteria sebagai aktiva yaitu:
a.         Memenuhi definisi aktiva (memiliki manfaat ekonomi masa mendatang, dikendalikan perusahaan, berasal dari transaksi masa lalu).
b.         Ada kemungkinan yang cukup bahwa manfaat ekonomi masa mendatang yang melekat pada aktiva dapat dinikmati oleh entitas yang meguasai.
c.         Besanya manfaat dapat di ukur dengan cukup andal.
Atas dasar hal tersebut, maka cost dapat yang dikeluarkan memenuhi kriteria sebagai aktiva, maka cost tersebut dapat ditunda pembebanannya. Namun demikian apabila terdapat kasus dimana cost yang jenis pengeluarannya terjadi berulang-ulang setiap perioade, cost tersebut dapat langsung dibebankan sebagai biaya pada periode terjadinya. Kondisi ini tidak berlaku untuk persediaan dan persekot biaya.
Dari uraian diatas, secara umum dapat dirumuskan bahwaberdasarkan konsep penandingan (matching), pengakuan biaya pada dasarnya sejalan dengan pengakuan pendapatan. Apabila pengakuan pendapatan ditunda, maka pembebanan biaya juga ditunda. Untuk mengatasi berbagai perbedaan pendapat tentang pengakuan biaya, biasanya badan berwenang mengeluarkan aturan tertentu untuk mengakui biaya. IAI (1990), misalnya,dalam Konsep Dasar Penyusunan Dan Penyajian Laporan Keuangan menyatakan:
"Beban diakui dalam laporan rugi laba kalau penurunan mamfaat ekonomi masa datang yang berkaitan dengan penurunan aktiva atau kenaikan kewajiban telah terjadi dan dapat diukur dengan andal" (paragrap 94).
Selanjutnya dalam paraprap 98 disebutkan:
Beban juga diakui dalam laporan rugi laba pada saat timbul kewajiban tanpa adanya pengakuan aktiva,  dapat timbulnya hutang garansi produk.
2.2.3.      Konsep Penandingan (Matching)
Konsep penandingan adalah konsep yang dimaksudkan untuk mencari dasar hubungan yang tepat dan rasional antara pendapatan dan biaya. Pendapatan merupakan hasil yang dituju perusahaan, sementara cost yang dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan tersebut merupakan upaya yang dilakukan perusahaan. Dengan demikian, pendapatan harus ditandingkan dengan biaya yang diperkirakan telah menghasilkan pendapatan tersebut, agar dihasilkan besarnya laba yang tepat.
Penandingan antara biaya dan pendapatan memerlukan dasar yang tepat. Upaya mencari dasar penandingan yang tepat merupakan masalah yang sering dihadapi oleh akuntan. Masalah tersebut tidak hanya menyangkut penentuan aktiva/jasa yang benar-benar telah dipakai, akan tetapi juga menyangkut perhitungan besarnya nilai aktiva atau jasa yang telah digunakan.
Paton dan Littleton (1940, p. 71) mengungkapkan:
Masalah utama dalam menandingkan pendapatan dan biaya adalah mencari dasar penandingan yang paling tepat antara pendapatan dengan biaya yang berhubungan langsung dengan pendapatan tersebut. Hubungan fisik yang dapat dilihat sebenarnnya dapat digunakan sebagai media untuk melacak dan membebankannya. Meskipun demikian harus diakui bahwa dengan melihat kondisi yang ada, dasar penandingan yang paling penting adalah kelayakan (reasonableness), bukannya pengukuran fisik.
Dari pernyataan tersebut jelas terlihat bahwa tidak semua biaya dapat ditandingkan secara langsung dengan pendapatan berdasarkan hubungan fisik. Oleh karena itu, umumnya akuntansi menggunakan dasar unit waktu (periode) sebagai dasar penandingan pendapatan dengan biaya. Konsep matching dapat digambar pada tampilan 1.









Tampilan 1
Konsep Matching
Dari tampilan 1 di atas dapat dilihat bahwa pengorbanan yang dilakukan oleh suatu perusahaan (jumlah rupiah yang dikeluarkan) dalam rangka memperoleh barang (4 bolam) akan dicatat sebagai aktiva sebesar costnya diakui sebagai persediaan bolam. Selama aktiva tidak dijual atau digunakan, nilai tersebut dianggap akan tetap tercantum dalam neraca. Apabila perusahaan melakukan kegiatan menghasilkan pendapatan, baik langsung maupun tidak langsung (seperti penjualan barang dagangan atau pemakain aktiva tetap untuk kegiatan operasional) berarti ada bagian cost yang telah dikeluarkan untuk menghasilkan pendapatan. Bagian cost inilah yang disebut dengan biaya (expenses-lihat bolam yang ada dalam lingkaran). Misalnya, dari tampilan 1 di atas, satu bolam terjual dan menghasilkan pendapatan. Dari hasil penjualan tersebut diperoleh pendapatan sedang bagian cost barang dagangan (bolam) yang telah terjual dinamakan dengan biaya (nama yang lazim digunakan untuk menunjukkan biaya dalam penjualan barang dagangan tersebut adalah harga pokok penjualan atau cost ofgoods sold).
Apabila hubungan fisik antara barang yang dijual dengan pendapatan yang diperoleh dapat ditelusur, konsep penandingan tidak akan menimbulkan masalah. Masalahnya, bagaimana cara menandingkan biaya dengan pendapatan jika keterkaitan fisik antara pendapatan dengan biaya sulit untuk ditentukan? Hal ini disebabkan tidak semua biaya berkaitan secara langsung dengan pendapatan.
Dalam praktik, ada tiga dasar penandingan yang umum digunakan untuk mencari hubungan antara biaya dengan pendapatan dalam satu periode tertentu. Dasar penandingan tersebut adalah (Kam, 1990): hubungan sebab akibat (association of causes and effects), alokasi sistematik dar rasional (systematic and rastional allocation) dan pembebanan segera (immediate recognition).
A.      Hubungan Sebab Akibat
Dasar yang paling ideal untuk menandingkan biaya dengan pendapatan adalah hubungan sebab akibat. Meskipun dasar ini sulit untuk dibuktikan, namun atas dasar pengamatan yang dilakukan para akuntan menunjukkan bahwa barang/jasa tertentu yang digunakan dalam proses produksi pada kahirnya akan membantu dalam proses menghasilkan pendapatan selama periode tertentu. Oleh karena itu dasar penandingan ini sering disebut dengan penandingan langsung (director product matching). Contoh dari biaya yang dapat ditandingkan dengan dasar penandingan langsung adalah biaya komisi penjualan, gaji dan upah, serta cost barang terjual (cost ofgoods sold) .
Dasar penandingan ini sesuai dengan konsep upaya dan hasil seperti yang diungkapkan oleh Patton dan Littleton (1940). Atas dasar pengamatan fisik dan pengamatan kejadian, jelas terlihat bahwa pendapatan tidak akan terjadi apabila tidak ada penyerahan barang dan jasa.
Komite American Accounting Association (dikutip oleh Kam, 1990) juga menyarankan penggunaan hubungan sebab akibat sebagai dasar penandingan. Mereka mengatakan:
Cost harus dihubungkan dengan pendapatan yang direalisasi selama periode tertentu atas dasar korelasi positif yang dapat dilihat hubungannya antara cost tersebut dengan pendapatan yang diakui.
Dari pernyataan tersebut dapat dirumuskan bahwa penandingan yang benar-benar tepat dapat dilakukan apabila terdapat hubungan yang rasional antara pendapatan dan biaya. Oleh karena itu, pengakuan biaya harus dihubungkan dengan pendapatan dan dilaporkan dalam periode yang sama dengan periode pengakuan pendapatan.
Ada beberapa masalah teknis yang timbul apabila penandingan langsung atas dasar produk digunakan sebagai dasar hubungan sebab akibat. Masalah tersebut adalah:
a.          Pemakaian barang dan jasa yang bagaimana yang dapat diidentifikasi dengan produk?
b.         Apabila biaya tidak menambah nilai produk tertentu, kapan biaya tersebut dapat dihubungkan secara langsung dengan pendapatan di masa yang akan datang? Bagaimana biaya tersebut dapat dilaporkan dengan tepat sesuai dengan pendapatan yang diperoleh?
c.          Kapan biaya yang terjadi setelah penjualan dapat dicatat dan dilaporkan?
Berikut ini akan dibahas ketiga masalah tersebut dan alternatif pemecahannya.
1.         Identifikasi Cost Produk
Sesuai dengan konsep penandingan, semua cost produksi harus dibebankan pada produk yang bersangkutan. Cost produk dapat dibagi menjadi dua.
a.         Pertama, cost produk yang melekat pada produk terjual dan nantinya akan dibebankan sebagai biaya.
b.        Kedua, cost yang melekat pada produk yang belum terjual (dilaporkan sebagai persediaan) dan dicatat sebagai aktiva sampai produk tersebut terjual.
Beberapa cost produk dapat langsung dihubungkan dengan produk tertentu, sementara cost yang lain hanya dapat dihubungkan dengan kegiatan produksi dan dialokasikan pada produk berdasarkan aturan atau prosedur tertentu. Disinilah pentingnya melakukan identifikasi untuk menentukan cost produk langsung (direct product cost) dan cost produk tidak langsung (indirect product cost).
Cost produk langsung adalah cost barang dan jasa yang digunakan untuk memproduksi produk tertentu dan yang secara langsung dapat diidentifikasi atau ditelusur ke produk yang dihasilkan. Cost bahan baku dan tenaga kerja langsung merupakan cost produk langsung, karena terjadinya atau manfaat cost tersebut dapat diidentifikasi pada produk tertentu.
Cost produk tidak langsung adalah cost barang dan jasa yang digunakan dalam proses produksi, yang tidak dapat diidentifikasi pada produk yang dihasilkan. Cost overhead pabrik adalah contoh cost produk tidak langsung. Meskipun cost ini sifatnya tidak langsung, namun cost tersebut tetap dibebankan pada produk atas dasar aturan atau metode tertentu.
Yang menjadi masalah sekarang, diantara cost produk tersebut yang manakah yang dapat ditandingkan dengan pendapatan? Akuntan banyak yang tidak sependapat untuk membebankan semua cost produksi individual pada produk tertentu. Perbedaan ini muncul karena adanya dua konsep yang berbeda dalam menentukan elemen cost produk, yaitu konsep full costing dan konsep direct costing.
Menurut konsep full costing, cost yang dianggap sebagai biaya adalah semua cost produk baik langsung maupun tidak langsung yang berkaitan dengan produk yang dijual. Sementara menurut konsep direct costing, hanya cost produksi variabel yang dianggap sebagai biaya atas produk yang terjual. Dengan demikian, cost produksi non-variabel akan dibebankan sebagai biaya periode.
Masalah lain yang muncul adalah cost kapasitas menganggur dan cost produk rusak yang bersifat abnormal. Jenis cost tersebut umumnya dianggap sebagai rugi (losses) atau langsung dibebankan sebagai biaya. Perlakuan inipun masih menimbulkan masalah: apakah cost tersebut sebaiknya diperlakukan sebagai rugi (losses) atau biaya?
Penentuan cost atas produk rusak sebagai rugi (losses) atau biaya sangat tergantung pada sifat dari kerusakan tersebut. Apabila kerusakan terjadi karena kejadian normal atau sering terjadi, maka cost kerusakan tersebut diperlakukan sebagai biaya. Sebaliknya, apabila kerusakan terjadi karena hal yang tidak biasa (tidak rutin), maka cost produk rusak tersebut diperlakukan sebagai rugi (losses).
2.         Biaya Yang Langsung Berhubungan dengan Pendapatan Masa Mendatang, Tetapi Tidak Masuk dalam Cost Produksi
Pada beberapa kasus, cost yang dapat dihubungkan dengan pendapatan masa mendatang tidak dapat dibebankan secara langsung dengan produk tertentu. Hal ini disebabkan cost terebut tidak menunjukkan nilai tambah pada produk yang bersangkutan. Contoh dari kasus ini adalah biaya penjualan dan administrasi.
Biaya penjualan dan adminsitrasi tidak harus ditandingkan dengan pendapatan di masa mendatang jika tidak ada jaminan yang rasional untuk menghubungkan biaya tersebut dengan pendapatan di masa mendatang. Meskpiun jenis biaya tersebut tidak secara langsung menghasilkan pendapatan karena secara teknis sulit mencari hubungan sebab akibatnya, namun biaya tersebut harus tetap dibebankan sebagai biaya.
Tidak diperolehnya pendapatan atau tidak adanya kemungkinan rugi pada periode berjalan, bukan merupakan alasan untuk menunda pembebanan biaya. Alasannya adalah apabila suatu cost barang dan jasa tidak memberikan manfaat pada periode sekarang dan juga bukan merupakan rugi, maka cost tersebut tentu akan memberikan manfaat masa mendatang. Oleh karena itu, cost tersebut harus dialokasikan pada periode mendatang agar dapat dilakukan penandingan natara biaya dengan pendapatan.
Contohnya, cost pendirian perusahaan tidak dapat dihubungkan dengan produk karena biasanya tidak ada produk yang dihasilkan pada waktu cost tersebut dikeluarkan. Meskpiun demikian, cost tersebut dapat dihubungkan dengan pendapatan masa mendatang dan biasanya dikapitalisasi. Jadi cost tersebut sering diperlakukan sebagai aktiva tidak berwujud.
Namun demikian, apabila tidak ada hubungan khusus antara pendapatan dan biaya, maka proses penandingan tidak dapat dilakukan. Konsekuensinya, tindakan menangguhkan pembebanan cost tersebut pada akhirnya akan menyebabkan perataan laba dan tidak menambah manfaat informasi yang dihasilkan.
Contoh lain yang relevan dengan kasus di atas adalah cost penelitian dan pengembangan. Meskipun pengeluaran untuk penelitian dan pengembangan mungkin memiliki manfaat dalam beberapa periode, namun tidak ada metode atau cara yang relevan dan bermanfaat untuk menerapkan konsep penandingan. Oleh karena itu, FASB menyarankan agar cost penelitian dan pengembangan langsung dibebankan sebagai biaya pada periode berjalan.
3.         Biaya Yang Behubungan Dengan Pendapatan Yang terjadi Setelah Pendapatan Diakui
Umumnya biaya yang berhubungan dengan pendapatan akan terjadi setelah pendapatan diakui. Masalah ini berkaitan dengan penentuan besarnya biaya yang akan timbul setelah penjualan. Apabila cost kegiatan tertentu dapat ditaksir secara layak dan cukup pasti, maka cost tersebut dapat diakui sebagai biaya pada periodepengakuan pendapatan. Jadi hubungan sebab akibat harus dapat diidentifikasi untuk menentukan bahwa pendapatan yang diakui memiliki hubungan sebab akibat dengan cost yang bersangkutan.
Contohnya, jika suatu garansi diberikan selama penjualan pada periode tertentu, maka biaya atas jaminan tersebut mungkin saja terjadi pada masa mendatang.
Penandingan yang tepat akan memperlakukan garansi tersebut sebagai biaya pada saat penjualan dan mencatat hutang untuk menampung cost yang timbul dari garansi tersebut. Memang, cost ini belum tentu terjadi. Namun demikian, tidak ada alasan yang tepat untuk menunda pembebanan cost tersebut sebagai biaya. Apabila estimasi terhadap cost garansi yang mungkin timbul dapat ditaksir dengan layak dan cukup pasti, maka cost tersebut harus diakui sebagai biaya pada saat pendapatan diakui.
Apabila cost garansi yang benar-benar terjadi melebihi besarnya cost yang ditaksir sebelumnya, maka kelebihan tersebut lebih tepat untuk diakui sebagai rugi (losses) dari pada biaya operasi. Kriteria yang digunakan adalah kelayakan atau kemungkinan terjadinya cost tersebut.
Alasan yang sama dapat juga diterapkan untuk biaya pengumpulan piutang dan biaya lain yang berhubungan dengan kegiatan administrasi. Dengan demikian, apabila ada pendapatan yang diakui sebelum barang dikirim dan apabila ada kemunginan timbulnya biaya tambahan atas pengiriman barang tersebut, cara yang paling tepat adalah mencatat pendapatan atas dasar harga jual dikurangi taksiran biaya tambahan untuk menjual barang tersebut.
Dasar penandingan menurut hubungan sebab akibat dapat juga diterapkan pada perusahaan jasa. Pada perusahaan jasa umumnya tidak ada suatu obyek fisik yang dapat dijadikan dasar untuk menghubungkan pendapatan dan biaya. Oleh karena itu, dasar penandingan yang biasa digunakan adalah periodik. Cost yang ditandingkan adalah cost yang terjadi pada periode terjadinya pendapatan yang dianggap telah menghasilkan pendapatan tersebut.
Atas dasar prinsip pengakuan pendapatan, biaya tidak akan terjadi bial tidak ada pendapatan. Contohnya, dalam kontrak jangka panjang yang menggunakan metode kontrak selesai, tidak ada biaya yang dibebankan selama tidak ada pendapatan yang diakui. Cost yang terjadi akan dicatat sebagai aktiva dan total akumulasi cost tersebut akan diakui sebagai biaya dan ditandingkan dengan pendapatan pada saat proyek selesai dan diserahkan pada pemerintah.
Apabila digunakan metode persentase penyelesaian, cost yang sebenarnnya terjadi pada periode dikeluarkannya cost tersebut dianggap sebagai upaya untuk menghasilkan pendapatan. Oleh karena itu, biaya akan dicatat sebesar cost yang telah terjadi.
Pada penjualan angsuran, total penjualan angsuran dan cost barang terjual (cost ofgoods sold) dicatat secara bersamaan. Perbedaan penjualan dan cost barang terjual dicatat dalam rekening hutang dengan nama "Laba Kotor Belum Direalisir". Laba tersebut akan dialokasikan secara proporsional sesuai dengan kas yang diterima. Dengan demikian, bagian dari cost barang terjual dianggap memiliki hubungan dengan pendapatan atas dasar kas yang diterima.
Misalnya, produk yang memiliki cost Rp. 500.000, dijual dengan harga Rp. 1.000.000. Kas yang diterima selama periode berjalan besarnya Rp. 100.000. Atas dasar contoh ini, besarnya biaya yang diakui pada periode berjalan adalah Rp. 50.000 yaitu: (100.000/ 1.000.000) x Rp. 500.000. Dengan demikian, jumlah sebesar Rp. 50.000 diakui sebagai biaya dan ditandingkan dengan pendapatan sebesar Rp. 100.000. Dengan kata lain, jumlah sebesar Rp. 50.000 merupakan upaya untuk memperoleh pendapatan sebesar Rp. 100.000.
B.       Alokasi Sistematis Dan Rasional
Alokasi sistematik dan rasional sering disebut dengan dasar penandingan periodik (period matching) atau penandingan tidak langsung (indirect matching). Alokasi sistematik dan rasional dapat digunakan sebagai dasar penandingan apabila dasar penandingan hubungan sebab-akibat tidak dapat dilakukan. Atas dasar konsep penandingan ini, ukuran penandingan yang digunakan bukan produk (unit fisik) tetapi periode. Dengan demikian, biaya diakui dan dihubungkan dengan pendapatan pada periode terjadinya. Cost yang terjadi dapat dialokasikan dalam beberapa periode, dan dapat juga langsung diakui dan dibebankan sebagai biaya. Pemilihan terhadap dua alternatif tersebut tergantung pada keadaan yang melandasi timbulnya cost tersebut.
Apabila manfaat cost suatu aktiva lebih dari satu periode, maka cost tersebut dialokasikan secara sistematis pada periode yang menikmati manfaat tersebut. Depresiasi aktiva tetap merupakan contoh alokasi sistematis. Masalah yang sering muncul dalam alokasi ini adalah banyaknya metode alokasi yang dapat digunakan dalam proses alokasi cost. Depresiasi dapat menggunakan metode alokasi seperti garis lirus, ouput produksi, jumlah angka angka tahun dan sebagainya.
Meskipun dapat menimbulkan masalah, alokasi sistematis tetap dapat digunakan sebagai dasar penandingan. Ada beberapa alasan yang mendukung pemakaian alokasi sistematis dan rasional yaitu:
Pertama, banyak cost periodik yang berhubungan secara tidak langsung dengan pendapatan periode berjalan. Dengan demikian, tidak ada penyimpangan yang material dalam prinsip penandingan apabila biaya diakui pada pada saat barang/jasa digunakan atau dijual. Contohnya, biaya sewa toko dapat dihubungkan dengan penjualan selama periode penyewaan.
Kedua, pada beberapa kasus sulit mencari hubungan langsung antara cost tertentu dengan pendapatan. Apabila cost dikeluarkan untuk kegiatan operasional perusahaan, maka cost tersebut harus diakui sebagai biaya pada periode terjadinya. Misalnya, pengeluaran untuk pengobatan karyawan tidak memiliki hubungan langsung dengan pendapatan tertentu, namun harus tetap diakui sebagai biaya pada saat dikeluarkan.
Ketiga, apabila manfaat masa mendatang tidak dapat diukur dengan cukup pasti atau cost yang dikeluarkan tidak memiliki hubungan dengan pendapatan di masa mendatang, maka tidak ada alasan untuk menunda pembebanan cost sebagai biaya pada periode terjadinya. Misalnya, biaya yang dikeluarkan untuk rekreasi karyawan.
Keempat, apabila biaya bersifat rutin (reguler) dan terjadi berulang-ulang, maka pembebanan langsung secara material tidak akan berpengaruh terhadap laba bersih, meskipun penandingan yang tepat tidak dapat dicapai. Hal ini dapat dilihat pada kasus cost penelitian dan pengembangan. Walaupun cost ini dapat memberi manfaat di masa mendatang, namun cost tersebut tetap diakui sebagai biaya pada periode terjadinya. Hal ini disebabkan cost tersebut terjadi secara rutin dan berulang-ulang serta dalam jumlah yang relatif tetap.
Kelima, apabila cost tersebut merupakan joint-cost, maka alokasi arbitrer harus dilakukan pada kegiatan yang berbeda. Apabila alokasi cost dilakukan mencakup periode yang berbeda, sebaiknya tidak dilakukan alokasi arbitrer. Hal ini disebabkan alokasi tersebut akan memberikan hasil yang lebih menyesatkan dari pada tidak dilakukan alokasi. Alokasi seolah-olah akan memberikan adanya kecermatan padahal kenyataannya tidak. Misalnya, pajak bumi dan bangunan tidak dapat dialokasikan pada masing-masing kegiatan perusahaan atas dasar alokasi yang lain kecuali atas dasar arbitrer. Dengan demikian, Pajak Bumi dan Bangunan tidak perlu dialokasikan pada masing-masing kegiatan tersebut.
C.      Pembebanan Segera (Immediate Recognition)
Apabila tidak ada alasan yang kuat untuk membebankan cost atas dasar hubungan sebab akibat ataupun alokasi sistematis dan rasional, maka cost langsung dapat dibebankan pada periode terjadinya. Alasan yang melandasi pembebanan dengan cara ini adalah kepraktisan. Misalnya, pencatatan terhadap biaya advertensi.
Cost yang dikeluarkan untuk kegiatan advertensi sulit untuk dihubungkan dengan pendapatan atas dasar hubungan sebab akibat. Di samping itu, cost tersebut kemungkinan memiliki manfaat lebih dari satu periode akuntansi. Namun demikian, karena manfaat tersebut sulit untuk diukur, pembebanan atas dasar alokasi sistematis juga tidak dapat dilakukan dengan tepat. Konsumen mungkin saja membeli produk perusahaan karena dipengaruhi oleh advertensi yang diketahui beberapa tahun yang lalu. Jadi, karena manfaat tersebut tidak dapat diukur dengan tepat, maka cost advertensi dibebankan langsung sebagai biaya. Pembebanan ini berlaku juga untuk cost penelitian dan pengembangan.
Dalam statement FASB No. 2 yaitu Accounting for Research and Development Cost disebutkan bahwa dasar penandingan hubungan sebab akibat dan alokasi sistematis tidak dapat diterapkan untuk cost penelitian dan pengembangan. Hal ini disebabkan manfaat penelitian dan pengembangan dimasa mendatang tidak dapat ditentukan dengan tepat, karena itu cost tersebut tidak dapat dikapitalisasi dan dicatat sebagai aktiva. Cost tersebut langsung dibebankan sebagai biaya pada periode terjadinya.
2.2.4.      Kritik Terhadap Konsep Penandingan
Konsep penandingan merupakan salah satu konsep yang digunakan dalam kerangka akuntansi konvensional. Menandingkan biaya dengan pendapatan sama halnya dengan menandingkan upaya dan hasil. Kegiatan usaha merupakan suatu aliran cost yaitu suatu aliran yang pada akhirnya akan menghasilkan pendapatan. Meskipun konsep penandingan merupakan hal yang umum diterapkan dalam akuntansi konvensional, namun dalam pelaksanaannya masih diwarnai dengan berbegai pertentangan. Berikut ini akan dibahas beberapa kritik yang ditujukan terhadap konsep matching.
A.      Bukti Yang Obyektif
Konsep penandingan memerlukan pertimbangan yang tepat dalam menentukan besarnya cost yang akan dibebankan pada periode sekarang atau masa mendatang. Dalam pengakuan pendapatan, bukti obyektif merupakan sarat utama yang harus dipenuhi. Namun demikian bukti obyektif tersebut kurang begitu diperhatikan dalam pengakuan biaya. Pengakuan biaya lebih didasarkan pada masalah rasional dan kelayakan daripada bukti yang obyektif.
Dalam praktek akuntansi, suatu prosedur tertentu dapat diterima perlakuannya apabila dipandang rasional dan layak untuk diterapkan. Misalnya, cost persediaan dapat dibebankan sebagai biaya dengan salah satu metode yang diterima umum, seperti LIFO atau FIFO. Demikian halnya, cost aktiva tetap dibebankan sebagai biaya (depresiasi) atas dasar salah satu metode depresiasi yang diterima umum. Perlakuan semacam ini timbul sebagai akibat dari definisi biaya yang dikeluarkan oleh badan berwenang, misalnya APB. APB mendefinisikan biaya sebagai penurunan aktiva kotor atau kenaikan hutang yang diakui dan diukur menurut prinsip akuntansi berterima umum.
Salah satu alasan tidak begitu diperhatikannya bukti obyaktif dalam pengakuan biaya adalah penerapan konsep konservatisme. Konsep ini menyatakan bahwa biaya, rugi dan hutang harus segera diakui meskipun tidak ada bukti yang kuat dan obyektif. Sementara pendapatan, untung (gains) dan aktiva tidak dapat diakui apabila tidak ada bukti yang cukup obyektif. Misalnya pemakaian metode prosentase penyelesaian dalam kontrak konstruksi jangka panjang. Apabila taksiran sekarang terhadap total cost kontrak menunjukkan rugi, maka rugi tersebut harus diakui atas kontrak yang telah dilaksanakan. Jadi, meskipun rugi tersebut belum terealisasi karena proyek belum selesai, tetapi total taksiran rugi harus segera diakui. Perlakuan seperti ini akan lebih tepat apabila metode kontrak selesai yang digunakan.
FASBStatement No. 5 tentang Accounting for Contingencies (1975) menghendaki untuk mengakui taksiran rugi yang berasal dari rugi kontinjensi. FASB mendefinisikan rugi kontinjensi sebagai berikut:
Suatu kondisi atau situasi yang melibatkan ketidakpastian yang memungkinkan timbulnya suatu rugi (losses) bagi perusahaan dimana timbulnya rugi tersebut sangat tergantung pada terjadinya atau tidak terjadinya satu peristiwa atau lebih dimasa mendatang.
Atas dasar pengertian diatas dapat dirumuskan bahwa konsep rugi kontinjensi termasuk unsur biaya. Contoh rugi kontinjensi adalah kemungkinan tidak terkumpulnya piutang, gugatan terhadap aktiva, sengketa di pengadilan yang belum jelas keputusannya dan lain-lain.
Taksiran kerugian akan diakui berdasarkan kondisi berikut ini:
1.         Sebelum laporan keuangan disajikan terdapat informasi yang menunjukkan kemungkinan timbulnya rugi yang cukup pasti.
2.        Jumlah rugi dapat ditaksir dengan layak dan cukup tepat.
Kerugian piutang akan dicatat karena adanya kemungkinan pada tanggal penyajian laporan keuangan, perusahaan tidak dapat mengumpulkan jumlah piutang tertentu sesuai dengan yang ditetapkan. Perlakuan ini dianut karena diterapkan konsep konservatisme, bukannya atas dasar bukti obyektif. Konservatisme merupakan sikap yang dijadikan kebiasaan (konvensi) dalam akuntansi, meskipun informasi yang menyesatkan mungkin saja dapat dihasilkan dari penerapan konsep tersebut.
B.       Evaluasi Terhadap Konsep Matching
Hubungan sebab akibat merupakan tahap terbaik untuk menandingkan biaya dengan pendapatan. Meskipun prosedur ini rasional, tetapi sulit diterapkan dalam praktik. Alasan utama terletak pada konsep Cost attach yang merupakan pendukung utama hubungan sebab akibat.
Hubungan sebab akibat sebenarnya tidak mungkin untuk diterapkan, karena konsep cost attach tidak memiliki alasan/argumen yang kuat. Dalam situasi tertentu, konsep cost attach tidak dapat menunjukkan dasar hubungan sebab akibat sebagai dasar hubungan pembebanan yang benar-benar meyakinkan. Oleh karena itu, akuntan tidak menghubungkan secara langsung biaya dengan pendapatan, tetapi atas dasar interval waktu.
Cost akan dibebankan sebagai biaya bila cost terebut menghasilkan pendapatan pada periode yang sama. Hubungan sebab akibat memiliki implikasi bahwa jumlah rupiah pendapatan tertentu harus dihubungkan dengan jumlah rupiah biaya.
Contohnya, biaya sebesar Rp. 60.000 telah menghasilkan pendapatan sebesar Rp.100.000. Apabila dari total biaya tersebut satu per empatnya (Rp. 15.000) adalah biaya tenaga kerja, berarti jasa tenaga kerja telah menghasilkan seperempat dari total pendapatan atau sebesar Rp. 25.000. Tindakan menghubungkan jasa tenaga kerja di atas dengan pendapatan adalah tidak tepat dan hal tersebut sulit untuk dibuktikan. Betulkah jasa tenaga kerja tersebut menghasilkan pendapatan sebesar itu?
Apabila suatu aktiva memiliki suatu manfaat lebih dari satu periode akuntansi dan dasar penandingan hubungan sebab akibat tidak dapat diterapkan, maka cost aktiva dapat dialokasikan dalam periode-periode secara sistematis. Cara ini ditandai dengan adanya taksiran-taksiran atau anggapan-anggapan sehingga penerapannya hanya bisa dilakukan secara arbitrer. Thomas (1969,1975) sangat mengkritik proses alokasi ini. Berikut ini adalah argumen yang dikemukakan Thomas.
Menurut Thomas, kebanyakan laporan yang dihasilkan akuntan hanya "omong kosong" belaka dan tidak bermanfaat. Informasi yang dihasilkan hampir seluruhnya didasarkan pada proses alokasi, yang tidak dapat dijustifikasi secara teoritis. Alokasi secara teoritisakan memuaskan apabila memenuhi beberapa kriteria. Kriteria tersebut adalah:
1.         Additivity
Alokasi harus melibatkan keseluruhan jumlah yang ada, sehingga jumlah bagian-bagiannya sama dengan jumlah keseluruhannya, tidak kurang tidak lebih. Dengan kata lain, jika jumlah yang dialokasikan ditambahkan bersama-sama, maka totalnya harus sama dengan jumlah sebelum alokasi.
2.         Unambiguity
Metode alokasi harus menghasikan alokasi yang unik dengan menggunakan satu dasar alokasi yang jelas dan cara alokasinya juga harus jelas.
3.         Defensibility
Metode alokasi yang dipilih harus lebih baik dibandin metode alokasi yang lain. Metode tersebut harus didukung oleh alasan yang kuat agar dapat dipertahankan dari kemungkinan pemakaian metode yang lain.
Alokasi dalam akuntansi tidak memenuhi kriteria tersebut, terutama kriteria yang ketiga. Hal ini disebabkan dalam akuntansi tidak ada alasan yang kuat untuk tetap mempertahankan metode alokasi tertentu. Di antara metode alokasi yang ada, masing-masing dapat dipertahankan, tetapi metode yang dipilih tidak satupun yang bebas dari unsur arbitrer. Pada umumnya, setiap ada metode lain yang lebih baik, maka metode yang lebih baik tersebut akan menggantikan metode yang digunakan sebelumnya. Hal ini berlaku terus apabila terdapat metode lain yang lebih baik.
Akuntan mempertahankan penggunaan alokasi berdasarkan dua alasan yaitu:
a.         Pertama, sumber-sumber ekonomi yang dimiliki perusahaan akan memberikan manfaat pada periode sekarang dan masa mendatang. Alokasi cost menunjukkan bagian dari sumber-sumber ekonomi yang telah dimanfaatkan pada periode tertentu.
b.         Kedua, data alokasi memberikan informasi yang bermanfaat bagi pemakai laporan keuangan.
Thomas menolak alasan pertama karena akuntan tidak dapat menunjukkan berapa sebenarnya bagian dari sumber ekonomi tersebut, yang telah memberikan kontribusi pada aliran kas masuk, pendapatan atau penghematan cost. Alokasi tersebut tidak dapat diuji kebenarannya dan tidak didukung oleh bukti yang obyektif melalui pengamatan empiris. Lebih lanjut, alokasi semacam itu tidak terdapat dalam dunia nyata dan hanya ada dalam pikiran akuntan. Kontribusi sumber-sumber ekonomi secara individual terhadap ouput, pendapatan atau aliran kas selama periode tertentu tidak dapat diketahui secara pasti. Hal ini disebabkan semua input yang berinteraksi dengan yang lain dalam menghasilkan total output akan berbeda hasilnya jika dilakukan secara sendiri-sendiri.
Alasan kedua juga ditolak Thomas dengan alasan manfaat yang diharapkan dari alokasi tersebut sebenarnya tidak dapat dipenuhi. Oleh karena itu apabila hasil alokasi tersebut sudah dapat dibuktikan atau dibantah kebenarannya, maka alokasi cost input tidak relevan bagi kebutuhan pihak pemakai laporan keuangan. Pemecahannya adalah dengan membuat laporan yang bebas alokasi. Thomas menyarankan pemakaian laporan nilai keluaran /nilai terkini (current walue report) atau dengan menggunakan laporan dana/aktiva likuid (fund statement report).
Alasan yang dikemukakan oleh Thomas mungkin dapat dikatakan benar. Namun menurut penulis, alokasi masih tetap bermanfaat dalam pelaporan keuangan. Alasan bahwa alokasi harus dapat diuji secara obyektif melalui pengamatan empiris tidak dapat diterapkan dalam akuntansi. Konsep bukti obyektif dan dapat diuji kebenarannya dalam akuntansi tidak sama dengan konsep bukti obyektif dalam ilmu pasti.
Kebenaran atau fakta akuntansi tidak selalu bersifat obyektif mutlak (conclusively objective) atau dapat diuji secara tuntas (completely werifiable), seperti 1 + 1 = 2. Hal ini berlaku pula untuk alokasi cost. Masalah obyektivitas dan daya uji dalam akuntansi mengandung elemen yang bertingkat (Suwardjono, 1989). Artinya, bukti yang mendukung perlakuan akuntansi tertentu dapat sepenuhnya obyektif, secara meyakinkan obyektif, secara meragukan obyektif, atau sama sekali tidak obyektif. Jadi, akuntansi mendasarkan diri pada obyektifitas yang paling tinggi pada waktu transaksi atau peristiwa tertentu terjadi, dengan mempertimbangkan keadaan dan tersedianya informasi yang ada pada saat tersebut.
Bukti yang sepenuhnya obyektif dan sama sekali tidak dipengaruhi oleh pendapat pribadi merupakan bukti yang paling kuat. Namun apabila syarat obyektifitas tersebut mutlak untuk diikuti, maka akuntansi akan berakibat kurang menguntungkan. Misalnya saja, dalam alokasi cost aktiva tetap menjadi biaya depresiasi pada periode yang dianggap menikmati cost tersebut. Penentuan depresiasi yang benar-benar obyektif hanya dapat dilakukan apabila penggunaan aktiva tetap tersebut dihentikan untuk selamanya. Namun demikian, apakah hanya karena akan menentukan nilai keausan fasilitas fisik (depresiasi), maka fasilitas tersebut harus dihentikan?
Kasus perlakuan depresiasi tersebut sebenarnya tidak mengurangi makna dari bukti obyektif, meskipun tidak dapat diuji secara ilmiah. Dalam jangka pendek, depresiasi seakan-akan tidak terjadi karena aktiva tetap bekerja lancar tanpa gangguan. Namun demikian, apabila perlakukan tersebut diterapkan pada periodeperiode berikutnya (jangka panjang), maka akan terlihat bahwa tindakan untuk tidak mendepresiasi aktiva tetap pada periode tertentu (karena tidak ada bukti obyektif), justru tidak obyektif kalau ditinjau dari periode sekarang. Mengapa demikian? Alasan utamanya adalah bahwa sejalan dengan berlalunya waktu, aktiva tetapakan mengalami keausan dan penurunan kemampuan (manfaat). Keausan tersebut akan terjadi sepanjang waktu mulai pertama kali digunakan sampai dihentikan. Oleh karena akuntansi menggunakan ukuran periode, maka tidak adil dan tidak obyektif apabila keausan tersebut tidak dibebankan pada periode dimana aktiva tersebut digunakan.
Argumen Thomas bahwa alokasi hanya berkaitan "imajinasi" pihak pembuat alokasi dan bukan berkaitan dengan fenomena dunia nyata dapat ditolak dengan melihat filsafat tentang apa itu realita. Aliran "logical positivist" berpendapat bahwa pengetahuan yang bermanfaat hanya dapat diperoleh melalui fakta. Dari sudut pandang ilmiah, pendapat ini mungkin benar. Namun demikian, yang menjadi pertanyaan adalah "apa yang dimaksud dengan realita"? Kenyataan menunjukkan bahwa tidak mungkin bagi seorang untuk mengidentifikasi fakta tanpa mengacu pada teori tertentu. Apa yang ada di dunia seperti yang kita ketahui merupakan interpretasi masingmasing individu terhadap fakta yang dapat diobservasi sesuai dengan teori-teori yang telah ditemukan sebelumnya (Popper, 1969) Sementara itu Kan (1949) mengatakan bahwa individu cenderung melihat dunia sesuai dengan katagori atau sudut pandang yang digunakan individu tersebut.
Zimmerman (1979) juga mengungkapkan bahwa alokasi cost untuk tujuan internal sangat bermanfaat sebagai alat untuk mengendalikan dan memotivasi manajer. Kebutuhan untuk mengalokasikan cost dengan tepat akan muncul apabila tanggung jawab pengambilan keputusan dibebankan kepada manajer. Apabila alokasi cost dihubungkan dengan skema pemberian insentif, otomatis akan mendorong manajer untuk memusatkan perhatiannya pada cost yang harus dilaporkan, dan membantu mengurangi beberapa masalah yang timbul dalam pengendalian dan koordinasi kegiatan. Dengan demikian, penggunaan alokasi masih tetap relevan dan bermanfaat dalam pelaporan keuangan.
2.3.       STUDY KASUS
SKANDAL WASTE MANAGEMENT
2.3.1             Sejarah Singkat Waste Management Inc.
Waste management, Inc (WMI) didirikan oleh dua sepupu Dean Buntrock dan Wayne Huizenga pada tahun 1968, perusahaan yang bermarkas di City Tower Pertama di Houston, Texas. Perusahaan bergerak dalam industri pembuangan limbah dan perusahaan jasa lingkungan di AS. Waste menjadi perusahaan manajemen limbah terbesar di AS. Namun, Wayne Huizenga meninggalkan WMI pada tahun 1984 untuk mendirikan kerajaan blockbuster.
Bisnis inti dari Waste Management untuk manajemen sampah di Amerika Utara terdiri dari proses-proses penting sebagai berikut, yaitu mengumpulkan (collection), memindahkan (transfer) & membuang (disposal). Dalam pemilikan Buntrock sebagai CEO, perusahaan tersebut ‘go public’ pada tahun 1971, dan kemudian berkembang selama tahun 1970an dan 1980an melalui beberapa tambahan atau akusisi dari perusahaan angkutan sampah lokal dan pengurus-pengurus landfill. Bahkan pada suatu saat perusahaan mampu melakukan hampir dari 200 akusisi selama setahun. Dari 1971 sampai dengan 1991, perusahaan menikmati rata-rata pertumbuhan pendapatan sebesar 36% per tahun dan pertumbuhan laba bersih sebesar 36% per tahun.
2.3.2             Kronologis Kasus
Pada 1991, Waste Management menjadi bisnis pembersih sampah terbesar di dunia, dengan pendapatan lebih dari $7.5 milyar. Meskipun terjadi resesi, Buntrock dan eksekutif lainnya di Waste Management menetapkan tujuan/sasaran pertumbuhan yang agresif.
•           Pada 1992 misalnya, perusahaan meramalkan pertumbuhan sebesar 26.1% untuk pendapatan & 16.5 % untuk laba bersih berturut-turut selama 1991.
•           Pada tahun 1992, auditor di Andersen menemukan bukti yang menunjukkan bahwa klien mereka salah saji pada pajak, asuransi, dan biaya yang ditangguhkan sebesar $93.5 juta, tetapi WMI menolak untuk menyajikan kembali laporan keuangan untuk memperbaiki kesalahan.
•           Pada tahun 1993, auditor mendokumentasikan salah saji lain sebesar $128 juta yang akan mengurangi pendapatan dari operasi yang dilanjutkan sebesar 12 persen. Meskipun demikian, Andersen menyimpulkan bahwa salah saji tersebut tidak material untuk mengharuskan pengungkapan.
•           Pada 1996, Dean Buntrock pensiun sebagai CEO, tapi melanjutkan untuk karirnya sebagai ketua dari Dewan Direksi.
•           Pada tahun 1997 ketika CEO baru perusahaan, Ronald T. Lemay, berhenti setelah tiga bulan menjabat.
Analis menyimpulkan bahwa CEO berhenti karena mungkin telah menemukan masalah akuntansi. Meskipun demikian, Lemay telah memulai penyelidikan atas manipulasi akuntansi yang kemudian menjadi titik awal untuk mengetahui perlunya penyajian kembali laporan keuangan periode 1992-1997 yang diperlukan untuk mengoreksi berbagai penggelembungan angka dan juga menjadi titik awal untuk investigasi SEC.
•           SEC mulai memeriksa buku WMI pada bulan November 1997, ketika perusahaan mengumumkan bahwa perubahan dalam metode akuntansi akan berakibat pada hilangnya $1.2 milyar dan mengurangi laba ditahan yang dilaporkan sebesar $1 miliar yang tercatat selama lima tahun sebelumnya.
•           Skema terurai pada pertengahan tahun 1997, setelah CEO baru memerintahkan untuk meninjau praktik akuntansi perusahaan.
•           Pada 1992-1997, CEO yang lama memanipulasi laporan keuangan untuk mencapai target laba. WMI terus terlibat dalam $ 1,4 miliar pada penipuan laporan keuangan .
•           Pada tahun 1998, WMI menyajikan kembali laporan keuangan perode 1992-1997.
Dalam penyajian kembali, melalui tiga kuartal pertama, perusahaan mengakui secara material telah menggelembungkan laba sebelum pajak sekitar $1.7 milyar dan mengecilkan elemen tertentu dari beban pajaknya sebesar $190 juta. WMI mengakui bahwa secara keseluruhan perusahaan telah menggelembungkan laba bersih setelah pajak sebesar lebih dari $1 miliar.
•           Setelah pengumuman tersebut, saham perusahaan turun hingga lebih dari 30% dan pemegang saham rugi hingga $6 milyar dollar.
•           SEC menuduh Dean Buntrock, pendiri perusahaan, dan 5 pejabat top lainnya melakukan penipuan ini. Tuduhan tersebut menduga bahwa manajemen telah berulang kali merubah penilaian biaya depresiasi untuk mengurangi jumlah biaya dan telah melakukan praktik akuntansi yang tidak layak berhubungan dengan kebijakan-kebijakan kapitalisasi, juga merencanakan pengurangan biaya-biaya.
•           SEC juga menuduh Arthur Andersen, sebagai auditor Waste Management, yang diduga keras mengetahui atau secara sembarangan mengeluarkan laporan audit yang secara material salah dan menyesatkan untuk periode 1993 sampai dengan 1996.
2.3.3             Pihak-Pihak yang Terlibat dalam Skandal Waste Managemnt Inc.
Pihak-pihak yang terlibat dalam skandar Waste Managemnt Inc. antara lain:
1.      Pendiri, Chairman dan CEO: Dean L. Buntrock
Buntrock mendalangi kecurangan ini. Dia menetapkan target laba, dipupuk budaya akuntansi penipuan, secara pribadi diarahkan tertentu dari perubahan akuntansi untuk membuat pendapatan yang ditargetkan, dan merupakan juru bicara yang mengumumkan nomor palsu perusahaan. Pada saat yang sama, Buntrock berpose sebagai pengusaha sukses. Dia adalah penerima keuntungan terbesar dari penipuan dan mendapatkan lebih dari $16.9 juta dalam keuntungan haram antara lain dari bonus berbasis kinerja, tunjangan pensiun, sumbangan amal, dan menjual saham perusahaan sementara penipuan itu berlangsung.
2.      Manajemen Puncak WMI (Eksekutif), CFO: Philip B. Rooney
Rooney yang bertanggung jawab membangun profitabilitas inti operasi limbah padat perusahaan dan setiap saat melakukan kontrol secara keseluruhan atas anak perusahaan terbesar perusahaan. Dia memastikan bahwa diperlukan write-off tidak tercatat dan, dalam beberapa kasus, ditolak keputusan akuntansi yang akan berdampak negatif pada operasi. Dia mendapatkan lebih dari $9.2 juta keuntungan haram, antara lain dari bonus berbasis kinerja, tunjangan pensiun, dan menjual saham perusahaan sementara penipuan itu berlangsung.
3.      Chief Financial Officer (CFO): James E. Koenig
Koenig yang terutama bertanggung jawab untuk melaksanakan skema. Dia juga memerintahkan penghancuran bukti, menyesatkan komite audit perusahaan dan akuntan intern, dan menyembunyikan informasi dari auditor luar. Dia mendapat keuntungan lebih dari $ 900.000 dari kecurangannya.
4.      Chief Accounting Officer: Thomas C. Hau
Hau merupakan teknisi utama untuk akuntansi penipuan. Antara lain, ia menciptakan banyak "one-off" manipulasi akuntansi untuk memberikan pendapatan yang ditargetkan dan hati-hati dibuat pengungkapan menipu. Dia mendapat keuntungan lebih dari $600.000 dari kecurangannya .
5.      Herbert Getz
Getz adalah penasihat umum perusahaan. Getz memberkati pengungkapan penipuan perusahaan dan mendapat keuntungan lebih dari $450.000 dari kecurangan nya.
6.      Bruce D. Tobecksen
Tobecksen adalah ahli akuntansi lain yang menjadi tangan kanan Koenig. Pada tahun 1994, ia meminta untuk menangani luapan Hau . Dia mendapat keuntungan lebih dari $400.000 dari kecurangannya.
2.3.4             Auditor: Arthur Andersen Company
Arthur Andersen berulang kali mengeluarkan laporan audit wajar tanpa pengecualian atas laporan keuangan tahunan yang secara material palsu dan menyesatkan. Waste Management Inc membayar jasa audit kepada Andersen yang menyarankan bahwa bisa memperoleh biaya tambahan melalui "tugas khusus", awalnya Andersen mengidentifikasi praktik-praktik akuntansi tidak tepat dan disajikan manajemen, namun pimpinan menolak mengkoreksi, hal ini dilihat sebagai upaya menutupi penipuan masa lalu untuk melakukan penipuan masa depan.
Andersen setiap tahun menyajikan manajemen perusahaan dengan apa yang disebut Proposed Adjusting Journal Entries ("PAJEs") untuk memperbaiki kesalahan yang mengecilkan biaya/pengeluaran dan menggelembungkan laba dalam laporan keuangan perusahaan.
Manajemen secara konsisten menolak untuk melakukan untuk melakukan penyesuaian yang disebut PAJEs. Sebaliknya, terdakwa diam-diam mengadakan perjanjian secara curang dengan Andersen untuk mencoret akumulasi kesalahan selama jangka waktu sampai sepuluh tahun. WMI setuju untuk mengubah praktik akuntansi, tetapi hanya boleh dilakukan untuk periode mendatang untuk menutupi kecurangan di masa lalu.
Akhirnya selama periode tujuh tahun dari penipuan Arthur Anderson dibayar oleh Waste Management sebesar $7.5 juta dalam biaya audit, $ 11.8 juta dalam biaya lainnya (pajak, membuktikan kerja), dan $6 juta dalam biaya non-audit tambahan termasuk $3.7 juta untuk analisis tinjauan strategis. Andersen menerima dari Waste Management Inc. sebesar $25.3 juta lebih selama tujuh tahun atau $3.6M per tahun.
2.3.5             Penyebab Terjadinya Skandal Waste Mangement Inc.
Tindakan ini menyangkut penipuan keuangan besar yang dimotivasi oleh keserakahan dan keinginan untuk mempertahankan status profesional dan sosial. Waste Management Inc. menyembunyikan kerugian, overstatement pendapatan, biaya tersembunyi selama lima tahun, menyebabkan salah saji dalam laporan keuangan audit yang diterbitkan.
WMI secara curang memanipulasi hasil keuangan perusahaan untuk memenuhi target laba yang telah ditentukan dengan secara tidak tepat menghilangkan dan menunda beban periode berjalan untuk melakukan banyak praktik akuntansi yang tidak benar untuk mencapai tujuan ini. Mereka melakukan banyak praktik akuntansi yang tidak benar untuk mencapai tujuan mereka. Diantaranya adalah:
a)        Menghindari beban penyusutan truk sampah mereka dengan menetapkan nilai sisa yang tidak mendukung dan meningkat sisanya, serta memperpanjang masa manfaat.
b)        Menetapkan nilai sisa dengan sewenang-wenang pada aset lain yang sebelumnya tidak memiliki nilai sisa.
c)        Gagal untuk mencatat beban penurunan nilai dari tempat pembungan sampah karena mereka telah dipenuhi dengan sampah.
d)       Menolak untuk mencatat beban yang diperlukan untuk menghapus biaya akibat ketidaksuksesan dan pengabaian proyek pengembangan tempat pembungan sampahnya.
e)        Membentuk cadangan lingkungan yang meningkat sehubungan dengan akuisisi sehingga kelebihan cadangan dapat digunakan untuk menghindari pencatatan beban usaha yang tidak terkait.
f)         Mengkapitalisasi berbagai biaya secara tidak benar.
g)        Gagal untuk membentuk cadangan yang cukup untuk membayar pajak penghasilan dan biaya-biaya lainnya.
Untuk mengecilkan biaya/pengurangan dan menggelembungkan laba manajemen menggunakan "top-level adjustment" untuk dapat mencapai target laba yang ditentukan. Buntrock dan mitra lainnya melakukan kecurangan sekuritas, pengajuan laporan berkala yang palsu, pemalsuan buku-buku dan catatan, serta kebohongan kepada auditor untuk mendapatkan keuntungan yang besar dan memperkaya diri sendiri. Para pelaku motivasi didorong oleh keserakahan dan terlibat memperkaya diri, diawetkan posisi perusahaan mereka dan status dalam komunitas bisnis dan sosial. Dan juga tambahan termasuk bonus, saham pilihan, dan tunjangan pensiun yang didasarkan pada kinerja perusahaan.
2.3.6             Dampak dan Keberlanjutan Skandal Waste Management Inc.
Skandal Waste Management Inc. merupakan perusahaan yang melakukan penyajian kembali terbesar dalam sejarah perusahaan. SEC telah mengeluarkan aturan dalam melaksanakan ketentuan SOX (Sarbanes-Oxley atau peraturan atau undang-undang terkait fraud dan korupsi) dalam pengadaan pembatasan pada jasa konsultasi yang dapat ditawarkan untuk mengaudit pada klien. Arthur Andersen menyediakan hampir semua penelitian yang diperlukan untuk penulis dari Sarbanes Oxley Act, dan kasus Waste Management Inc adalah salah satu contoh terbaik dari mengapa SOX sangat spesifik tentang independensi auditor.
Untuk menyelesaikan tuntutan class action dengan pemegang saham, WMI membayar denda sebesar $677 juta dengan kontribusi dari Arthur Andersen sebesar $95 juta. Dan, Andersen menyelesaikan masalah kepada SEC dengan membayar denda, terbesar dalam sanksi perdata, sebesar $7 juta, tanpa pernyataan mengakui atau menyangkal. Dan juga, mitra-mitra utamanya didenda dan dilarang berpraktik oleh SEC. Andersen membayar rekor denda $7 juta, yang merupakan terbesar yang pernah ada hukuman perdata terhadap perusahaan akuntansi Big Five pada saat itu.
Putusan hakim secara permanen melarang Buntrock, Rooney, Hau, dan Getz bertindak sebagai petugas atau direktur perusahaan publik dan melarang mereka untuk melanggar, atau membantu dan melakukan pelanggaran. Putusan hakim juga menuntut pembayaran denda lebih dari $ 30 juta, dengan rincian Buntrock - $ 19.447.670, Rooney - $ 8.692.738, Hau -  $ 1.578.890, dan Getz - $ 1.149.756. Putusan hakim juga secara permanen melarang James Koenig bertindak sebagai pejabat atau direktur perusahaan publik, dan membayar denda lebih dari $ 4 juta.
2.3.7             Analisis Kasus
Dari contoh kasus diatas dapat disimpulkan bahwa:
1.        Kegagalan Pengendalian Internal dan Manajemen Risiko
Pengendalian internal dan manajemen risiko diperlukan untuk meningkatkan kualitas pelaporan keuangan. Ini terutama dilakukan oleh CEO, chief accounting officer, dan perusahaan audit eksternal. Dalam skandal Waste Management Inc., manajemen dan perusahaan audit terlibat hal ini pada akhirnya menyebabkan kegagalan pengendalian internal yang buruk. Pengawasan dalam rumus skema penipuan mengacu pada kurangnya adanya tata kelola perusahaan yang bertanggung jawab dalam fungsi manajemen pemantauan untuk penyajian wajar laporan keuangan sesuai dengan GAAP.
Tidak adanya fungsi pengawasan oleh komite audit WMI, ditambah dengan monitoring yang tidak efektif dari tim manajemen puncak oleh dewan direksi dan struktur pengendalian internal yang tidak memadai dan tidak efektif dalam mencegah, mendeteksi, dan memperbaiki penipuan laporan keuangan, mungkin telah berkontribusi signifikan faktor terhadap salah saji dan kegagalan audit.
2.        Masalah Etika
Dari sudut pandang etika, penipuan yang dilakukan oleh keenam eksekutif Waste Management Inc. sudah pasti itu perbuatan yang salah. Kejahatan yang telah dilakukan tidak hanya ilegal, apa yang telah dilakukan benar-benar salah. Mereka tidak hanya berbohong dan menunjukkan bentuk ketidakjujuran, tetapi perusahaan telah mempertaruhkan banyak pekerja yang hidupnya bergantung pada perusahaan. Perusahaan, seperti yang disebutkan sebelumnya, telah memanipulasi laporan keuangan dengan menggelembungkan laba perusahaan untuk mendapatkan keuntungan pribadi dari masing-masing pelaku.

















BAB III
PENUTUP
3.1              Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa Biaya mempunyai dua karakteristik utama yaitu aliran atau penurunan aset atau kenaikan kewajiban dan berkaitan dengan operasi utama yang menerus. Rugi dibedakan dengan biaya karena timbul dari sumber yang secara tidak langsung berkaitan dengan operasi utama perusahaan. Rugi berasal dari transaksi, kegiatan, atau sumber berupa kegiatan periferal, transfer non timbal-balik, penahanan aset, atau faktor lingkungan. Kriteria pengakuan biaya adalah pemanfaatan dan kelenyapan. Biaya diakui bilamana manfaat ekonomik telah dikonsumsi dalam rangka penyerahan barang atau jasa untuk mendatangkan pendapatan atau bilamana manfaat ekonomik masa datang telah lenyap.
Biaya diukur dengan cost yang sebelumnya melekat pada aset. Biaya dapat dipandang sebagai bagian cost yang telah terhabiskan dalam rangka menciptakan pendapatan. Bagian cost yang terhabiskan dapat dihubungkan dengan pendapatan atas dasar hubungan sebab-akibat, alokasi sistematik dan rasional, atau pengakuan segera. Basis asosiasi atas dasar sebab-akibat atau penandingan langsung atas dasar produk merupakan basis yang paling ideal. Akan tetapi, alasan kepraktisan dan ketaktersediaankanan (univentoriability) beberapa faktor cost (administrative dan pemasaran) menjadikan akuntansi beralih ke penandingan tak langsung atau penandingan perioda. Dengan kata lain, takaran penandingan bukan lagi produk melainkan periode.

Mohon maaf apabila ada daftar pustaka yang belum ketulis.









DAFTAR PUSTAKA
Ghozali, I, dan A. Chariri, 2007, Teori Akuntansi, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Edisi 3.
Baridwan, Zaki. 2008. Intermediate Accounting. Edisi Kedelapan. Penerbit  Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.
Norfitri, Y., 2014. Evaluasi Penerapan Matching Principle Dalam Laporan Laba Rugi Pada PT. Megatrans Buana Samudra. Jurnal Ilmu dan Riset Akuntansi, 3(1). Vol.3 No. 1.
Ratunuman, S.M., 2013. Analisis Pengakuan Pendapatan Dengan Persentase Penyelesaian Dalam Penyajian Laporan Keuangan PT. Pilar Dasar. Jurnal Riset Ekonomi, Manajemen, Bisnis Dan Akuntansi, 1(3). Vol.1 No.3 Juni 2013, Hal. 576-584.
Sumartono, L., 2017. Perlakuan Pengakuan Pendapatan Dan Beban Pada PT Wijaya Karya (Persero), Tbk. Dan Entitas Anak Terhadap Kewajaran Penyajian Laporan Laba Rugi Berdasarkan PSAK No. 23 Revisi 2010. Jurnal Fin-Acc (Finance Accounting), Vol 1, No. 9.
 Rut, P.M., 2016. Analisis Pengakuan, Pengukuran Dan Pengungkapan Pendapatan Dan Beban Berdasarkan Psak No. 36 Pada AJB Bumiputera 1912 Manado. Jurnal Riset Ekonomi, Manajemen, Bisnis Dan Akuntansi, 4(1).
Judge Enters Final Judgment Against Former CFO of Waste Management, Inc. Following Jury Verdict in SEC's Favor. (2008, January 3). Press Release: 2008-2, Jan. 3, 2008. Retrieved May 20, 2014.
SEC. (2005, August 29). Dean L. Buntrock, Phillip B. Rooney, James E. Koenig, Thomas C. Hau, Herbert A. Getz, and Bruce D. Tobecksen: Lit. Rel. 19351 / August 29, 2005. Dean L. Buntrock, Phillip B. Rooney, James E. Koenig, Thomas C. Hau, Herbert A. Getz, and Bruce D. Tobecksen: Lit. Rel. 19351 / August 29, 2005. Retrieved May 20, 2014.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH TEORI AKUNTANSI KONSEP EKUITAS

PENILAIAN PRESTASI KERJA